Sekeping Hati |
Bruukkk...
Tubuhku terhempas di rerumputan. Tidak ada rasa sakit yang mendera
badanku. Perlahan kugerakkan badanku
yang sedikit kaku. Aku mencoba bangun. Memposisikan diri dalam
keadaan terduduk.
Mataku bergegas mengitari keadaan sekeliling. Tempat ini terlihat dingin
namun hangat menyentuh tubuhku. Cahaya yang berpendar tidak membuat mataku
silau karenanya. Aku penasaran. Aku belum pernah datang ke sini. Warna-warni
bunga yang bermekaran dari tanaman perdu yang tumbuh di sekitar, tampak begitu indah. Semilir angin yang
menyentuh dedahanan, cicitan pipit-pipit kecil, gemericik air yang mengalir
serta dengungan dari sekumpulan lebah, berpadu membentuk simfoni alam yang menenangangkan jiwa.
"Ini di mana?"
Rasa penasaran dan kekagumam membuat hatiku semakin riang untuk melangkah.
Menelusuri jalan setapak dengan mengikuti arah gemericik air hingga aku semakin
jauh berjalan. Dan aku mulai tersadar ketika aku telah berada di sebuah danau
kecil dengan aliran air yang jernih. Aku duduk di bibir danau. Memasukkan kakiku di air. Bunyi percikan air yang ditimbulkan ikan yang
berenang saling berkejaran membuat irama jantungku menjadi semakin tenang. Baru
kali ini aku merasakan ketenangan yang begitu nyaman dalam hatiku.
Hatiku….
Ucapku lirih
“Assalamu'alaikum. Alifia Putri?” Ada seseorang yang
memanggil namaku. Aku berpaling pada pemilik suara itu. Seorang gadis cantik berpakaian gamis dan berjilbab putih. Wajahnya lembut. Dia
tersenyum ke arahku penuh dengan keramahan. Aku berdiri dan mendekatinya.
“Iya…. Saya Alifia Putri.” Aku menjawab
pertanyaannya sambil melempar senyum. “Anda siapa dan bagaimana Anda bisa mengetahui nama saya?”
Gadis itu kembali tersenyum mendengar pertanyaanku. “Ada yang
memberitahukan namamu kepadaku.” Dia berjalan pelan mendekatiku.
Aku mundur perlahan.
“Tak usah takut. Aku temanmu.” Dia langsung menenangkanku seketika melihatku melangkah ke
belakang.
Aku mulai akrab dengan gadis berjilbab
putih itu. Dia menjelaskan semua perihal
tempat ini.
“Di sinilah sekarang kamu tinggal. Tempatmu berteduh, melepas lelah, dan
apapun yang ingin kamu lakukan".
Dia lalu membawaku ke suatu tempat yang sangat indah. Sebuah bangunan megah
dengan kubah transparannya
yang terkesan mewah. Sedangkan di tiap sisi bangunan yang tidak berdinding dihiasi tirai-tirai kristal.
Aku tertegun saat ingin memasuki tempat itu. Ada begitu banyak orang
yang berada di dalamnya. Semua
penghuninya mengenakan pakaian serba putih. Kini pun aku berpakaian yang sama dengan mereka. Aku
tidak tahu sejak kapan aku mengenakan
pakaian ini. Aku tidak begitu
menyadari. Tapi aku senang.
Aku memandang gadis yang mengajakku. Dia tersenyum dan mengangguk. Itu isyaratnya mempersilakanku
untuk masuk. Aku pun mengikuti ajakannya. Namun ada sesuatu yang menahanku
untuk masuk.
“Putri, tunggu!” Ada seseorang
yang memegang pergelangan tangan kananku. Aku berbalik dan menatap sosok yang
ada di hadapanku saat ini.
“Kak Alfa?”
“Putri, ayo pulang!” kata kak Alfa kepadaku.
“Pulang ke mana Kak?” Aku sedikit bingung dengan ajakan kak Alfa. Aku
merasa sudah berada di rumah. Tempat tinggalku. Mungkin, atau aku hanya terbawa
oleh kata-kata gadis itu. Entahlah.
“Pulang ke rumah. Di sini bukan tempat kamu. Belum saatnya! Tempat kamu saat ini berada di antara
ayah dan bunda kamu juga di sisiku, Putri.”
Ayah dan bunda? Bisikku dalam hati. Pernyataan itu membuatku berdiri terpaku. Ada
kilasan-kilasan masa lalu yang terputar kembali dalam ingatanku. Bersama ayah,
bunda, kak Alfa, orang tua kak Alfa dan orang-orang terdekatku. Kenangan
terakhir memutar kebersaamanku dengan ayah dan bunda. Untuk terakhir kali saat
berada di rumah. Sesaat sebelum aku tidak sadarkan diri.
Penyakit liverku kambuh. Kenanganku buyar.
Aku menggelengkan kepala.
“Aku enggak ingin pulang.
“ Hati kecilku berkecamuk. Aku tidak
ingin membuat mereka berkali-kali merasakan kesedihan. Ketika sakit yang aku
derita kembali menyerangku seketika itu pula membuatku bertahan di rumah sakit
untuk beberapa hari. Aku tidak ingin menjadi beban untuk mereka dan semua orang
yang menyayangiku.
“Enggak…. Kak. Putri enggak mau buat mereka sedih karena penyakit
Putri.”
“Putri! Kami akan sangat sedih jika kami harus kehilanganmu
saat ini. Tolong jangan tinggalkan kami."
"Pulang dengan Kak Alfa ya?" pinta Kak Alfa. Aku kembali menggeleng menanggapi permintaannya.
"Aku gak bisa jika harus kehilanganmu, Putri.”
“Kak…. Aku tidak ingin menjadi beban Kakak. Apalagi orang
tua Kakak yang telah banyak
membantuku untuk sembuh. Kedua orang tuaku memeras keringat hanya untuk
pengobatanku. Aku tidak mau hanya karena penyakit liverku ini semua orang yang
menyayangiku jadi susah dan sedih." Aku bersikukuh untuk tetap tinggal di
tempat ini.
"Mungkin, ragaku saat ini tengah tergolek lemah di rumah sakit.
Penyakit hati kronikku kambuh kembali. Aku tidak ingin terlalu lama hidup di
dunia dengan menderita penyakit. Bergantung pada rumah sakit, obat-obatan dan
semua alat-alat kedokteran yang pada akhirnya nanti semua itu harus dihentikan.
Dan aku juga harus meninggalkan mereka untuk selamanya."
Aku memdongakkan memandang wajah kak Alfa. Seketika itu kedua mata kak Alfa
menatapku dengan tajam. Aku menunduk merasa bersalah. Dia mendekatiku dan
memegang bahuku dengan kedua tangannya.
“Kamu pernah berkata, bahwa kamu hanya memiliki sekeping hati. Jika hati
kamu terluka, sakit dan tidak lagi berfungsi apakah kamu masih bisa bertahan
untuk hidup? Saat itu, hati kamu tengah terluka. Dan aku telah berjanji memberikan hatiku untuk menutup luka
hatimu. Karena aku yakin kamu akan menjaga hatiku yang menjadi hatimu saat ini
hingga kamu bisa bertahan."
Kak Alfa menyakinkanku. Dia mengingatkanku kembali pada ucapan yang
pernah dia katakan di hari ulang tahunku ke - 17 tahun.
“Tapi ini bukan hati yang begitu saja bisa sembuh, tanpa pengobatan dan
pengeluaran biaya yang sedikit, Kak. Setiap sakit ini kambuh, ayah dan bunda
langsung sedih dan khawatir dengan keadaanku. Aku tidak mau membuat mereka
tersiksa dengan keadaanku, yang semakin melemah ini.”
“Kak Alfa tahu. Kamu memang menderita liver kronik.”
Bukan Alfatah Furqani jika belum mengerahkan
semua usahanya untuk membujukku.
“Kamu ingin membuat kedua orang tua kamu kembali tersenyumkan? Kamu bisa
melakukannya. Kamu bisa
berjuang dengan semangat kamu untuk kembali sembuh. Dan kamu tidak akan
berjuang sendiri. Tidak akan….
Aku akan selalu menemanimu. Tidak hanya itu, keluargamu dan
keluargaku juga ikut membantumu kembali di antara kami lagi. Karena kamu adalah
kejora yang menghiasi harapan kami.”
Aku masih tetap kukuh dengan keinginanku untuk tidak kembali ke dunia. Aku
ingin berada di tempat ini. Meskipun aku tidak tahu pasti dimana saat
ini aku berada. Aku pun mulai tidak perdulikan kata-kata kak Alfa. Aku pikir
aku berada di tempat ini adalah suatu yang terbaik untuk semuanya.
Entah sudah berapa puluh ribu detik lamanya kak Alfa berusaha membujukku
untuk pulang. Berapa ribu alasan untuk menyadarkanku hingga akhirnya kak Alfa
menyerah. Dia hanya mengatakan bahwa dia dan semua yang
mencintaiku akan selalu berharap aku kembali di tengah-tengah mereka. Dan akan selalu mendukungku keembuhanku.
Kak Alfa berhenti berkata dan memberiku sebuah Al-Qur’an yang dua bulan
lalu menjadi kado ulang tahunku ke 18 tahun. Dia meninggalkanku bersama gadis yang tadi mengajakku sampai tempat
ini. Aku berdiri terpaku, pandanganku mengekori langkah kepergiannya hingga
tidak lagi tampak.
Aku membuka Al-Qur’an halaman demi halaman hingga sampai pada halaman yang
telah diberi pembatas. Mataku tertuju pada Surat Faathir ayat 38 yang artinya “Sesungguhnya Allah mengetahui
yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala
isi hati”.
Sesuatu yang hangat mengalir pada pipiku. Air mataku meleleh tidak bisa lagi
kubendung. Isakan tangisku membuat hati semakin sakit aku rasakan.
Ya Allah, ingin sekali aku berada bersama mereka. Namun aku tidak ingin kembali
menyiksa mereka dengan kesedihan yang berlanjut. Aku yakin Engkau akan
memberikan yang terbaik dalam hidupku. Hati kecilku memanjatkan do’a dengan
khusuk dan lidahku mulai melantunkan ayat-ayat suci itu. Berharap aku bisa
berada di tempat yang seharusnya aku berada.
~*~
Sayup-sayup lantunan ayat Al-Qur’an yang merdu mengiringiku ke sebuah tempat yang cahayanya sangat berpendar.
Cahaya itu membuatku tidak dapat mengetahui kemana kakiku melangkah. Aku
berusaha menggerakaan tangank. Meraba apapun yang ada di sekitarku yang dapat membantuku berjalan. Namun tidak ada sesuatupun yang dapat tanganku gapai.
Kakiku kian melemah. Aku jatuh terduduk dan sesuatu terasa berputar begitu cepat.
Semakin cepat hingga semuanya
tampak gelap.
Suara merdu berasal dari lantunan ayat Al-Qur’an kian terdengar jelas di telingaku.
Aroma yang sangat aku kenal mulai tercium hidungku. Kini aku tahu di mana keberadaanku
saat ini. Aku berada di rumah sakit.
Aku mulai mengenali pemilik suara yang melantunkan ayat Al-Qur’an itu. Dialah
kak Alfa. Dia tetap setia berada di sampingku dan tidak pernah jenuh membacakan Al-Qur’an untuk kesembuhanku.
Tubuhku begitu lemah, dan mataku belum sanggup memandang sosok yang berada di sampingku. Perlahan
aku kumpulkan semua tenaga yang tersisa. Perlahan dapat kugerakkan jemari
tanganku.
Kak Alfa berhenti sejenak membaca Al-Qur’an kemudian dia melanjukannya
kembali. Kucoba membuka kelopak mataku yang terasa begitu lekat. Samar - samar kupandangi pemilik paras yang bercahaya itu
melantunkan ayat-ayat suci yang memberiku kekuatan. Saat kumampu melihat jelas sekelilingku, kak Alfa
telah selesai membaca ayat Al-Qur’an.
“Alhamdulillah, Putri sudah sadar.” Kak Alfa tersenyum.
“Sebentar ya?” Dia beranjak keluar ruangan.
Aku memperhatikan tangan kananku yang berhiaskan jarum infus. Terdengar
langkah kaki. Tidak hanya
seorang tapi lebih dari satu,
dua bahkan tiga. Aku
memalingkan wajahku dari memperhatikan jarum infus ke arah datangnya suara
langkah kaki.
Seorang wanita paruh baya menghambur memelukku. Tampak berkaca-kaca pada
kedua matanya yang indah. Lalu mengalirlah butiran bening pada wajah yang tidak lagi muda
itu. Bunda berkali-kali mengucapkan syukur dan mencium keningku.
“Sayang, kami merindukan senyummu beberapa hari ini.”
“Beberapa hari? Memangnya Putri koma berapa hari Bunda?”
“Lima hari, Sayang.”
Ya Allah, selama itu aku tidak sadarkan diri. Aku semakin merasa bersalah
membuat bunda mengalami hari-hari kekhawatiran.
“Maaf kan Putri, Bunda.”
Bunda mencium keningku sekali lagi dan setelah itu mempersilakan dokter
Rizal memeriksa keadaanku. Dokter Rizal adalah ayah kak Alfa dan juga dokter
penyakit dalamku selama satu tahun ini.
“Alhamdulillah, kondisi kesehatanmu mulai stabil,” kata dokter Rizal. Beliau
mengusap lembut keningku.
Aku senang. Semoga ucapan dokter Rizal menenangkan hati bunda.
“Putri…. Minggu depan kamu harus ke
Semarang.” Aku mengernyitkan alis, tidak faham dengan ucapan dokter.
“Saya telah merekomendasikan namamu untuk
operasi transplantasi hati di Rumah
Sakit dr. Karyadi, Semarang.” Aku tidak tahu harus senang atau sedih
mendengar penjelasan beliau. Tapi sejujurnya aku sangat senang karena
dengan transplantasi hati itu berarti kesempatanku untuk hidup di dunia bisa
lebih lama. Dan keinginanku untuk membuat lukisan senyum di wajah ayah dan
bunda bisa aku wujudkan. Namun, aku tidak bisa mengabaikan ada sedikit kekhawatiran
tentang transplantasi itu.
Aku tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih atas semua yang telah
dokter Rizal lakukan untuk kesembuhanku. Dokter Rizal kembali bertugas setelah
memeriksa kondisiku.
“Tolong jaga Putri.” Dokter Rizal berpesan
kepada kak Alfa sebelum beliau
keluar dari ruangan.
Bunda menghubungi ayah di kantor. Melalui
telepon seluler beliau berkata, “Ayah, Putri sudah siuman.”
Kak Alfa duduk di samping aku berbaring. Tersenyum. “Putri, kenapa? Ada
sesuatu yang kamu khawatirkan?” Kak Alfa menebak pikiranku dengan tepat.
“Putri takut Kak.” Akhirnya aku mengatakan kekhawatiranku, meskipun
keraguan menyelimuti hatiku.
“Jika Putri transplantasi hati itu berarti ada hati orang lain dalam tubuh
Putri.” Aku menghela nafas panjang sebelum meneruskan alasan kekhawatiranku.
“Dan Putri gak tahu perasaan apa
yang masih tersimpan di dalam hati yang lain itu. Bagaimana setelah Putri
transplantasi hati itu perasaan Putri pada Kak Alfa berubah, dan....”
Kak Alfa tertawa mendengar penjelasanku. Kenapa? Apa alasan kekhawatiranku
itu sebuah lelucon hingga sampai membuat kak Alfa tertawa seperti itu.
“Putri…. Putri. Itu hanya transplantasi hati bukan transplantasi
perasaan. Hati itu hanya salah satu organ tubuh. Dan memang akan ada hati milik orang lain yang
masih bisa berfungsi dengan baik untuk menggantikan hatimu. Karena tubuh dan nyawa pemilik hati itu tidak bisa diselamatkan lagi. Namun
berbeda dengan perasaan yang
kebanyakan orang mengatakan heart
atau hati. Tapi keberadaan hati yang satu ini atau perasaan itu adalah milik
ruh. Dan kita sebagai manusia tidak pernah tahu di mana Allah
meletakkannya dalam diri kita. Jadi hilangkan kekhawatiranmu dan yakinlah Allah
akan memberikan yang terbaik dan terindah untuk dirimu dan orang-orang yang
mencintaimu.”
~*~
Sebulan selepas operasi transplantasi hati. Aku kembali chek up pada
dokter Rizal. Beliau menyatakan
bahwa kesehatanku mulai semakin membaik. Rasa syukur tidak terhingga karena bisa berada di tengah-tengah orang yang
menyayangiku dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.
“Putri, aku boleh menjaga dan menyayangimu?” tanya kak Alfa ketika
menemaniku chek up. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang
menurutku sedikit aneh.
“Bukankah selama ini Kak Alfa telah menjaga dan menyayangi
Putri?”
“Iya, tapi bukan sebagai Alfa.”
“Maksud Kak Alfa?”
“Sudahlah.... Oya, kamu mau menemaniku berziarah ke makam saudaraku kan?”
pinta kak Alfa kepadaku. Aku mengangguk.
Sejujurnya aku masih merasa aneh dengan pertanyaan yang diucapkan kak Alfa.
Tapi….
Sudahlah.
Aku mencoba menepis rasa penasaranku. Mobil yang dikendarai kak Alfa melaju meninggalkan rumah sakit.
Kak Alfa menghentikan mobilnya. Dia mengajakku memasukki area pemakaman. Dia
juga memintaku untuk membawakan bunga yang tadi sempat kami beli dalam perjalan ke pemakaman. Kami
berjalan beriringan menuju makan yang dimaksud. Hingga dia menghentikan
langkahnya di sebuah makam.
Kak Alfa memegang tanganku. Dia mengajakku untuk lebih dekat ke makam itu.
Tanpa aku sadari kak Alfa berucap, “Alfa, sekarang aku kemari bersama
Putri.” Aku terkejut dengan ucapan kak Alfa yang membuatku semakin bingung. Aku
mendekati nisan itu. Di sana tertera sebuah nama yang tidak asing bagiku.
“Alfatah Furqani.”
Aku hanya bisa tercengang dengan semua ini. Kenapa pada nisan itu tertulis
nama yang sama dengan nama lengkap kak Alfa? Jika yang bersemayam itu kak Alfa,
terus siapa orang yang ada di samping aku? Dan jika benar itu makam kak Alfa,
kenapa kak Alfa bisa meninggalkan aku tanpa aku ketahui? Bukankah selama ini
kak Alfa selalu bersama aku, menemani aku, mensupport aku.
Hatiku terasa sesak. Siapa sebenarnya orang yang di sampingku dengan wajah,
sikap dan sifat kak Alfa. Kuperhatikan sosok di sampingku yang begitu
khitmadnya memanjatkan do’a.
“Putri, apa kamu tidak ingin memanjatkan do’a untuk Alfa? Seorang yang selama ini menyayangi dan
menjagamu?” Aku masih terdiam dengan kebingunganku. Perlahan aku letakkan bunga
yang sejak tadi aku pegang.
“Tolong jelaskan tentang semua ini. Kak Alfa?” Aku tidak tahu harus memanggilnya
siapa karena setahuku, dia yang ada di hadapanku sekarang adalah kak Alfa. Aku lebih mempercayai penglihatanku.
“Putri, maaf.” Lelaki itu menundukkan kepala. Menutupi raut wajah
rasa bersalahnya.
“Sebenarnya namaku Avicenna Furqani saudara kembar Alfa. Kamu boleh
memanggilku Avin.” Ternyata kak Alfa punya saudara kembar. Tapi ini tidak mungkin kak Alfa tidak pernah cerita tentang saudara
kembarnya.
Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan pada kak Avin, namun aku
urungkan. Aku mencoba memberi kesempatan untuk kak Avin menjelaskan.
“Mungkin selama ini Alfa tidak pernah cerita tentang aku sebagai saudara
kembarnya. Memang saat itu aku sedang ada masalah dengan Alfa. Sampai aku putuskan untuk meneruskan studiku di Negeri Sakura. Menjauh darinya.” Kak Avin menghela nafas.
Dari raut wajahnya seakan dia menerawang jauh ke dalam masa lalunya yang
panjang. “Tapi masalah itu sudah lama kami selesaikan. Satu setengah bulan lalu
aku kembali dari Jepang. Dalam perjalan menuju Jogja, mama mengabarkan kalau
Alfa mengalami kecelakaan. Aku sedikit menyesal. Kenapa kedatanganku bertepatan
dengan musibah yang menimpa Alfa.”
Kak Avin terus menjelaskan semua yang ingin aku ketahui. Terkadang berhenti
sejenak menghela nafas atau bahkan mengusap matanya yang tampak berkaca-kaca.
Aku bingung. Aku tidak bisa percaya dengan pernyataan
kak Avin. Aku tak sanggup mengucapkan apapun. Air mataku yang mengatakan semua
yang aku rasakan. Kesedihan, kekecewaan, kehilangan, amarah, semua perasaan
dalam hatiku bercampur dan tidak aku mengerti perasaan semacam apa ini.
Aku tidak percaya, bahwa orang yang membacakan Al Qur’an untuk kesembuhanku
di saat aku koma dulu sudah bukan lagi kak Alfa. Kak Avin yang menggantikan
posisi kak Alfa. Kak Alfa mengalami kecelakan dalam perjalanan menjengukku. Lukanya
sangat parah. Dia pun sempat koma tiga hari.
Dokter memvonis bahwa hidup kak Alfa tidak akan lama. Dan saat kak Alfa
tahu penyakitku semakin parah dia meminta ayahnya untuk mengecek organ hatinya.
Apakah hatinya cocok jika didonorkan untukku. Selain itu kak Alfa juga meminta
kak Avin untuk menggantikannya menjagaku. Jika kak Avin mau.
Aku shock mendengar penjelasan dari kak Avin.
“Putri ingin bersama kak Alfa. Kak Alfa sudah janji akan selalu temani
Putri.” Aku menggumam sangat lirih. Air mataku semakin berderai. Tubuhku
tergoncang. Bahkan aku merasa bumi berputar begitu cepat hingg aku tak sanggup
melihat sekelilingku. Semua gelap, sangat gelap. Tubuhku terkulai lemah. Terjatuh.
~ Untuk
seorang yang hatinya tengah aku pinjam.~
0 komentar:
Posting Komentar