Pages

Kamis, 12 Januari 2012

Sekeping Hati

Sekeping Hati
Bruukkk...
Tubuhku terhempas di rerumputan. Tidak ada rasa sakit yang mendera badanku.  Perlahan kugerakkan badanku yang sedikit kaku. Aku mencoba bangun. Memposisikan diri dalam keadaan terduduk.
Mataku bergegas mengitari keadaan sekeliling. Tempat ini terlihat dingin namun hangat menyentuh tubuhku. Cahaya yang berpendar tidak membuat mataku silau karenanya. Aku penasaran. Aku belum pernah datang ke sini. Warna-warni bunga yang bermekaran dari tanaman perdu yang tumbuh di sekitar, tampak begitu indah. Semilir angin yang menyentuh dedahanan, cicitan pipit-pipit kecil, gemericik air yang mengalir serta dengungan dari sekumpulan lebah, berpadu membentuk simfoni alam yang menenangangkan jiwa.

"Ini di mana?"
Rasa penasaran dan kekagumam membuat hatiku semakin riang untuk melangkah. Menelusuri jalan setapak dengan mengikuti arah gemericik air hingga aku semakin jauh berjalan. Dan aku mulai tersadar ketika aku telah berada di sebuah danau kecil dengan aliran air yang jernih. Aku duduk di bibir danau. Memasukkan kakiku di air. Bunyi percikan air yang ditimbulkan ikan yang berenang saling berkejaran membuat irama jantungku menjadi semakin tenang. Baru kali ini aku merasakan ketenangan yang begitu nyaman dalam hatiku.
Hatiku…. Ucapku lirih
“Assalamu'alaikum. Alifia Putri?” Ada seseorang yang memanggil namaku. Aku berpaling pada pemilik suara itu. Seorang gadis cantik berpakaian gamis dan berjilbab putih. Wajahnya lembut. Dia tersenyum ke arahku penuh dengan keramahan. Aku berdiri dan mendekatinya.
“Iya…. Saya Alifia Putri. Aku menjawab pertanyaannya sambil melempar senyum. “Anda siapa dan bagaimana Anda bisa mengetahui nama saya?”
Gadis itu kembali tersenyum mendengar pertanyaanku. “Ada yang memberitahukan namamu kepadaku. Dia berjalan pelan mendekatiku.
 Aku mundur perlahan.
“Tak usah takut. Aku temanmu.Dia langsung menenangkanku seketika melihatku melangkah ke belakang.
Aku mulai akrab dengan gadis berjilbab putih itu. Dia menjelaskan semua perihal tempat ini.  
“Di sinilah sekarang kamu tinggal. Tempatmu berteduh, melepas lelah, dan apapun yang ingin kamu lakukan".
Dia lalu membawaku ke suatu tempat yang sangat indah. Sebuah bangunan megah dengan kubah transparannya yang terkesan mewah. Sedangkan di tiap sisi bangunan yang tidak berdinding dihiasi tirai-tirai kristal.
Aku tertegun saat ingin memasuki tempat itu. Ada begitu banyak orang yang berada di dalamnya. Semua penghuninya mengenakan pakaian serba putih. Kini pun aku berpakaian yang sama dengan mereka.  Aku tidak tahu sejak kapan aku mengenakan pakaian ini. Aku tidak begitu menyadari. Tapi aku senang.
Aku memandang gadis yang mengajakku. Dia tersenyum dan mengangguk. Itu isyaratnya mempersilakanku untuk masuk. Aku pun mengikuti ajakannya. Namun ada sesuatu yang menahanku untuk masuk.
“Putri, tunggu!” Ada seseorang yang memegang pergelangan tangan kananku. Aku berbalik dan menatap sosok yang ada di hadapanku saat ini.
“Kak Alfa?”
“Putri, ayo pulang! kata kak Alfa kepadaku.
“Pulang ke mana Kak?” Aku sedikit bingung dengan ajakan kak Alfa. Aku merasa sudah berada di rumah. Tempat tinggalku. Mungkin, atau aku hanya terbawa oleh kata-kata gadis itu. Entahlah.
“Pulang ke rumah. Di sini bukan tempat kamu. Belum saatnya! Tempat kamu saat ini berada di antara ayah dan bunda kamu juga di sisiku, Putri.”
Ayah dan bunda? Bisikku dalam hati. Pernyataan itu membuatku berdiri terpaku. Ada kilasan-kilasan masa lalu yang terputar kembali dalam ingatanku. Bersama ayah, bunda, kak Alfa, orang tua kak Alfa dan orang-orang terdekatku. Kenangan terakhir memutar kebersaamanku dengan ayah dan bunda. Untuk terakhir kali saat berada di rumah. Sesaat sebelum aku tidak sadarkan diri. Penyakit liverku kambuh. Kenanganku buyar.
Aku menggelengkan kepala.
“Aku enggak ingin pulang. “ Hati kecilku berkecamuk. Aku tidak ingin membuat mereka berkali-kali merasakan kesedihan. Ketika sakit yang aku derita kembali menyerangku seketika itu pula membuatku bertahan di rumah sakit untuk beberapa hari. Aku tidak ingin menjadi beban untuk mereka dan semua orang yang menyayangiku.
“Enggak…. Kak. Putri enggak mau buat mereka sedih karena penyakit Putri.”
“Putri! Kami akan sangat sedih jika kami harus kehilanganmu saat ini. Tolong jangan tinggalkan kami."
"Pulang dengan Kak Alfa ya?" pinta Kak Alfa. Aku kembali menggeleng menanggapi permintaannya.
"Aku gak bisa jika harus kehilanganmu, Putri.”
“Kak…. Aku tidak ingin menjadi beban Kakak. Apalagi orang tua Kakak yang telah banyak membantuku untuk sembuh. Kedua orang tuaku memeras keringat hanya untuk pengobatanku. Aku tidak mau hanya karena penyakit liverku ini semua orang yang menyayangiku jadi susah dan sedih." Aku bersikukuh untuk tetap tinggal di tempat ini.
"Mungkin, ragaku saat ini tengah tergolek lemah di rumah sakit. Penyakit hati kronikku kambuh kembali. Aku tidak ingin terlalu lama hidup di dunia dengan menderita penyakit. Bergantung pada rumah sakit, obat-obatan dan semua alat-alat kedokteran yang pada akhirnya nanti semua itu harus dihentikan. Dan aku juga harus meninggalkan mereka untuk selamanya."
Aku memdongakkan memandang wajah kak Alfa. Seketika itu kedua mata kak Alfa menatapku dengan tajam. Aku menunduk merasa bersalah. Dia mendekatiku dan memegang bahuku dengan kedua tangannya.
“Kamu pernah berkata, bahwa kamu hanya memiliki sekeping hati. Jika hati kamu terluka, sakit dan tidak lagi berfungsi apakah kamu masih bisa bertahan untuk hidup? Saat itu, hati kamu tengah terluka. Dan aku telah berjanji memberikan hatiku untuk menutup luka hatimu. Karena aku yakin kamu akan menjaga hatiku yang menjadi hatimu saat ini hingga kamu bisa bertahan." Kak Alfa menyakinkanku. Dia mengingatkanku kembali pada ucapan yang pernah dia katakan di hari ulang tahunku ke - 17 tahun.
“Tapi ini bukan hati yang begitu saja bisa sembuh, tanpa pengobatan dan pengeluaran biaya yang sedikit, Kak. Setiap sakit ini kambuh, ayah dan bunda langsung sedih dan khawatir dengan keadaanku. Aku tidak mau membuat mereka tersiksa dengan keadaanku, yang semakin melemah ini.
“Kak Alfa tahu. Kamu memang menderita liver kronik.”
Bukan Alfatah Furqani jika belum mengerahkan semua usahanya untuk membujukku.
“Kamu ingin membuat kedua orang tua kamu kembali tersenyumkan? Kamu bisa melakukannya. Kamu bisa berjuang dengan semangat kamu untuk kembali sembuh. Dan kamu tidak akan berjuang sendiri. Tidak akan…. Aku akan selalu menemanimu. Tidak hanya itu, keluargamu dan keluargaku juga ikut membantumu kembali di antara kami lagi. Karena kamu adalah kejora yang menghiasi harapan kami.”
Aku masih tetap kukuh dengan keinginanku untuk tidak kembali ke dunia. Aku ingin berada di tempat ini. Meskipun aku tidak tahu pasti dimana saat ini aku berada. Aku pun mulai tidak perdulikan kata-kata kak Alfa. Aku pikir aku berada di tempat ini adalah suatu yang terbaik untuk semuanya.
Entah sudah berapa puluh ribu detik lamanya kak Alfa berusaha membujukku untuk pulang. Berapa ribu alasan untuk menyadarkanku hingga akhirnya kak Alfa menyerah. Dia hanya mengatakan bahwa dia dan semua yang mencintaiku akan selalu berharap aku kembali di tengah-tengah mereka. Dan akan selalu mendukungku keembuhanku.
Kak Alfa berhenti berkata dan memberiku sebuah Al-Qur’an yang dua bulan lalu menjadi kado ulang tahunku ke 18 tahun. Dia meninggalkanku bersama gadis yang tadi mengajakku sampai tempat ini. Aku berdiri terpaku, pandanganku mengekori langkah kepergiannya hingga tidak lagi tampak.
Aku membuka Al-Qur’an halaman demi halaman hingga sampai pada halaman yang telah diberi pembatas. Mataku tertuju pada Surat Faathir ayat 38 yang artinya “Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati”.
Sesuatu yang hangat mengalir pada pipiku. Air mataku meleleh tidak bisa lagi kubendung. Isakan tangisku membuat hati semakin sakit aku rasakan.
Ya Allah, ingin sekali aku berada bersama mereka. Namun aku tidak ingin kembali menyiksa mereka dengan kesedihan yang berlanjut. Aku yakin Engkau akan memberikan yang terbaik dalam hidupku. Hati kecilku memanjatkan do’a dengan khusuk dan lidahku mulai melantunkan ayat-ayat suci itu. Berharap aku bisa berada di tempat yang seharusnya aku berada.
~*~
Sayup-sayup lantunan ayat Al-Qur’an yang merdu mengiringiku ke sebuah tempat yang cahayanya sangat berpendar. Cahaya itu membuatku tidak dapat mengetahui kemana kakiku melangkah. Aku berusaha menggerakaan tangank. Meraba apapun yang ada di sekitarku yang dapat membantuku berjalan. Namun tidak ada sesuatupun yang dapat tanganku gapai. Kakiku kian melemah. Aku jatuh terduduk dan sesuatu terasa berputar begitu cepat. Semakin cepat hingga semuanya tampak gelap. 
Suara merdu berasal dari lantunan ayat Al-Qur’an kian terdengar jelas di telingaku. Aroma yang sangat aku kenal mulai tercium hidungku. Kini aku tahu di mana keberadaanku saat ini. Aku berada di rumah sakit. Aku mulai mengenali pemilik suara yang melantunkan ayat Al-Qur’an itu. Dialah kak Alfa. Dia tetap setia berada di sampingku dan tidak pernah jenuh membacakan Al-Qur’an untuk kesembuhanku.
Tubuhku begitu lemah, dan mataku belum sanggup memandang sosok yang berada di sampingku. Perlahan aku kumpulkan semua tenaga yang tersisa. Perlahan dapat kugerakkan jemari tanganku.
Kak Alfa berhenti sejenak membaca Al-Qur’an kemudian dia melanjukannya kembali. Kucoba membuka kelopak mataku yang terasa begitu lekat. Samar - samar kupandangi pemilik paras yang bercahaya itu melantunkan ayat-ayat suci yang memberiku kekuatan. Saat kumampu melihat jelas sekelilingku, kak Alfa telah selesai membaca ayat Al-Qur’an.
“Alhamdulillah, Putri sudah sadar. Kak Alfa tersenyum.
“Sebentar ya?” Dia beranjak keluar ruangan.
Aku memperhatikan tangan kananku yang berhiaskan jarum infus. Terdengar langkah kaki. Tidak hanya seorang tapi lebih dari satu, dua bahkan tiga. Aku memalingkan wajahku dari memperhatikan jarum infus ke arah datangnya suara langkah kaki.
Seorang wanita paruh baya menghambur memelukku. Tampak berkaca-kaca pada kedua matanya yang indah. Lalu mengalirlah butiran bening pada wajah yang tidak lagi muda itu. Bunda berkali-kali mengucapkan syukur dan mencium keningku.
“Sayang, kami merindukan senyummu beberapa hari ini.” 
“Beberapa hari? Memangnya Putri koma berapa hari Bunda?”
“Lima hari, Sayang.”
Ya Allah, selama itu aku tidak sadarkan diri. Aku semakin merasa bersalah membuat bunda mengalami hari-hari kekhawatiran.
Maaf kan Putri, Bunda.
Bunda mencium keningku sekali lagi dan setelah itu mempersilakan dokter Rizal memeriksa keadaanku. Dokter Rizal adalah ayah kak Alfa dan juga dokter penyakit dalamku selama satu tahun ini.
“Alhamdulillah, kondisi kesehatanmu mulai stabil,” kata dokter Rizal. Beliau mengusap lembut keningku.
Aku senang. Semoga ucapan dokter Rizal menenangkan hati bunda.
“Putri…. Minggu depan kamu harus ke Semarang.” Aku mengernyitkan alis, tidak faham dengan ucapan dokter.
“Saya telah merekomendasikan namamu untuk operasi transplantasi hati di Rumah Sakit dr. Karyadi, Semarang. Aku tidak tahu harus senang atau sedih mendengar penjelasan beliau. Tapi sejujurnya aku sangat senang karena dengan transplantasi hati itu berarti kesempatanku untuk hidup di dunia bisa lebih lama. Dan keinginanku untuk membuat lukisan senyum di wajah ayah dan bunda bisa aku wujudkan. Namun, aku tidak bisa mengabaikan ada sedikit kekhawatiran tentang transplantasi itu.
Aku tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih atas semua yang telah dokter Rizal lakukan untuk kesembuhanku. Dokter Rizal kembali bertugas setelah memeriksa kondisiku.
“Tolong jaga Putri.” Dokter Rizal berpesan kepada kak Alfa sebelum beliau keluar dari ruangan.
Bunda menghubungi ayah di kantor. Melalui telepon seluler beliau berkata, “Ayah, Putri sudah siuman.”
Kak Alfa duduk di samping aku berbaring. Tersenyum. “Putri, kenapa? Ada sesuatu yang kamu khawatirkan?” Kak Alfa menebak pikiranku dengan tepat.
“Putri takut Kak.” Akhirnya aku mengatakan kekhawatiranku, meskipun keraguan menyelimuti hatiku.
Jika Putri transplantasi hati itu berarti ada hati orang lain dalam tubuh Putri.” Aku menghela nafas panjang sebelum meneruskan alasan kekhawatiranku.
“Dan Putri gak tahu perasaan apa yang masih tersimpan di dalam hati yang lain itu. Bagaimana setelah Putri transplantasi hati itu perasaan Putri pada Kak Alfa berubah, dan....
Kak Alfa tertawa mendengar penjelasanku. Kenapa? Apa alasan kekhawatiranku itu sebuah lelucon hingga sampai membuat kak Alfa tertawa seperti itu.
“Putri…. Putri. Itu hanya transplantasi hati bukan transplantasi perasaan. Hati itu hanya salah satu organ tubuh. Dan memang akan ada hati milik orang lain yang masih bisa berfungsi dengan baik untuk menggantikan hatimu. Karena tubuh dan nyawa pemilik hati itu tidak bisa diselamatkan lagi. Namun berbeda dengan perasaan yang kebanyakan orang mengatakan heart atau hati. Tapi keberadaan hati yang satu ini atau perasaan itu adalah milik ruh. Dan kita sebagai manusia tidak pernah tahu di mana Allah meletakkannya dalam diri kita. Jadi hilangkan kekhawatiranmu dan yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik dan terindah untuk dirimu dan orang-orang yang mencintaimu.”
~*~
Sebulan selepas operasi transplantasi hati. Aku kembali chek up pada dokter Rizal. Beliau menyatakan bahwa kesehatanku mulai semakin membaik. Rasa syukur tidak terhingga karena bisa berada di tengah-tengah orang yang menyayangiku dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.
“Putri, aku boleh menjaga dan menyayangimu?” tanya kak Alfa ketika menemaniku chek up. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang menurutku sedikit aneh.
“Bukankah selama ini Kak Alfa telah menjaga dan menyayangi Putri?”
“Iya, tapi bukan sebagai Alfa.”
“Maksud Kak Alfa?”
“Sudahlah.... Oya, kamu mau menemaniku berziarah ke makam saudaraku kan?” pinta kak Alfa kepadaku. Aku mengangguk.
Sejujurnya aku masih merasa aneh dengan pertanyaan yang diucapkan kak Alfa. Tapi….
Sudahlah. Aku mencoba menepis rasa penasaranku. Mobil yang dikendarai kak Alfa melaju meninggalkan rumah sakit.
Kak Alfa menghentikan mobilnya. Dia mengajakku memasukki area pemakaman. Dia juga memintaku untuk membawakan bunga yang tadi sempat kami beli dalam perjalan ke pemakaman. Kami berjalan beriringan menuju makan yang dimaksud. Hingga dia menghentikan langkahnya di sebuah makam.
Kak Alfa memegang tanganku. Dia mengajakku untuk lebih dekat ke makam itu.
Tanpa aku sadari kak Alfa berucap, “Alfa, sekarang aku kemari bersama Putri.” Aku terkejut dengan ucapan kak Alfa yang membuatku semakin bingung. Aku mendekati nisan itu. Di sana tertera sebuah nama yang tidak asing bagiku.
“Alfatah Furqani.
Aku hanya bisa tercengang dengan semua ini. Kenapa pada nisan itu tertulis nama yang sama dengan nama lengkap kak Alfa? Jika yang bersemayam itu kak Alfa, terus siapa orang yang ada di samping aku? Dan jika benar itu makam kak Alfa, kenapa kak Alfa bisa meninggalkan aku tanpa aku ketahui? Bukankah selama ini kak Alfa selalu bersama aku, menemani aku, mensupport aku.
Hatiku terasa sesak. Siapa sebenarnya orang yang di sampingku dengan wajah, sikap dan sifat kak Alfa. Kuperhatikan sosok di sampingku yang begitu khitmadnya memanjatkan do’a.
“Putri, apa kamu tidak ingin memanjatkan do’a untuk Alfa? Seorang yang selama ini menyayangi dan menjagamu?” Aku masih terdiam dengan kebingunganku. Perlahan aku letakkan bunga yang sejak tadi aku pegang.
“Tolong jelaskan tentang semua ini. Kak Alfa?” Aku tidak tahu harus memanggilnya siapa karena setahuku, dia yang ada di hadapanku sekarang adalah kak Alfa. Aku lebih mempercayai penglihatanku.
“Putri, maaf.” Lelaki itu menundukkan kepala. Menutupi raut wajah rasa bersalahnya.
Sebenarnya namaku Avicenna Furqani saudara kembar Alfa. Kamu boleh memanggilku Avin.” Ternyata kak Alfa punya saudara kembar. Tapi ini tidak mungkin kak Alfa tidak pernah cerita tentang saudara kembarnya.
Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan pada kak Avin, namun aku urungkan. Aku mencoba memberi kesempatan untuk kak Avin menjelaskan.
“Mungkin selama ini Alfa tidak pernah cerita tentang aku sebagai saudara kembarnya. Memang saat itu aku sedang ada masalah dengan Alfa. Sampai aku putuskan untuk meneruskan studiku di Negeri Sakura. Menjauh darinya.” Kak Avin menghela nafas.
Dari raut wajahnya seakan dia menerawang jauh ke dalam masa lalunya yang panjang. “Tapi masalah itu sudah lama kami selesaikan. Satu setengah bulan lalu aku kembali dari Jepang. Dalam perjalan menuju Jogja, mama mengabarkan kalau Alfa mengalami kecelakaan. Aku sedikit menyesal. Kenapa kedatanganku bertepatan dengan musibah yang menimpa Alfa.”
Kak Avin terus menjelaskan semua yang ingin aku ketahui. Terkadang berhenti sejenak menghela nafas atau bahkan mengusap matanya yang tampak berkaca-kaca.
Aku bingung. Aku tidak bisa percaya dengan pernyataan kak Avin. Aku tak sanggup mengucapkan apapun. Air mataku yang mengatakan semua yang aku rasakan. Kesedihan, kekecewaan, kehilangan, amarah, semua perasaan dalam hatiku bercampur dan tidak aku mengerti perasaan semacam apa ini.
Aku tidak percaya, bahwa orang yang membacakan Al Qur’an untuk kesembuhanku di saat aku koma dulu sudah bukan lagi kak Alfa. Kak Avin yang menggantikan posisi kak Alfa. Kak Alfa mengalami kecelakan dalam perjalanan menjengukku. Lukanya sangat parah. Dia pun sempat koma tiga hari.
Dokter memvonis bahwa hidup kak Alfa tidak akan lama. Dan saat kak Alfa tahu penyakitku semakin parah dia meminta ayahnya untuk mengecek organ hatinya. Apakah hatinya cocok jika didonorkan untukku. Selain itu kak Alfa juga meminta kak Avin untuk menggantikannya menjagaku. Jika kak Avin mau.
Aku shock mendengar penjelasan dari kak Avin.
“Putri ingin bersama kak Alfa. Kak Alfa sudah janji akan selalu temani Putri.” Aku menggumam sangat lirih. Air mataku semakin berderai. Tubuhku tergoncang. Bahkan aku merasa bumi berputar begitu cepat hingg aku tak sanggup melihat sekelilingku. Semua gelap, sangat gelap. Tubuhku terkulai lemah. Terjatuh.

~ Untuk seorang yang hatinya tengah aku pinjam.~

0 komentar: